Pages

Blog Khusus Sanitarian Community

Blog ini berisi beberapa hal penting terkait standard operating prosedur sanitarian, seperti inspeksi sanitasi, tutorial kesehatan lingkungan, dan tips lainnya. Anda dapat klik langsung pada link diatas slider ini, atau anda dapat berkunjung di inspeksisanitasi.blogspot.com

Public Health Community

Blog ini berisi berbagai hal terkait tutorial, tips, dan informasi kesehatan masyarakat. Beberapa hal ditulis meliputi epidemiologi, kesehatan lingkungan, masalah gizi masyarakat, serta pencegahan penyakit menular. Berbagai tulisan ini dapat anda akses pada link diatas, atau anda dapat berkunjung langsung di helpingpeoleideaas.com/publichealth.

Blog Tutorial Diets Sehat

Blog ini berisi tips terbaru cara menurunkan berat badan yang sehat. berbagai tips dan tutorial antara lain melalui pengaturan makanan, exercise, vegetarian, dan cara lainnya. Anda dapat berkunjung ke web khusus cara diet ini dengan klik pada lingk di atas atau di loseweight-diets.com.

Feature Blog

Merupakan catatan abyektif terkait masalah dan berita terkini yang layak dijadikan acuan untuk menambah obyektifitas kita.

Check List dan SOP

Anda bisa mendapatkan berbagai check list dan sop inspeksi sanitasi dan pengukuran lainnya dengan standard Depkes dan WHO, anda dapat klik di link diatas slider ini.

Photobucket
Showing posts with label Kesehatan Masyarakat. Show all posts
Showing posts with label Kesehatan Masyarakat. Show all posts

Tuesday, May 10, 2016

Prinsip Pengolahan Makanan

Prinsip Sanitasi Pengolahan Makanan


Pengelolaan makanan yang baik dan memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu upaya untuk mencapai tingkat kesehatan masyarakat yang optimal, sehingga perlu mendapat perhatian dari segi nilai gizi, segi kemurnian, maupun dari segi kebersihan. Sebab meskipun nilai gizi dan kemurnian baik namun kebersihan lingkungan tidak diawasi dan dipelihara, maka makanan tersebut dapat menimbulkan penyakit akibat kontaminasi.

Prinsip Sanitasi Pengolahan Makanan
Untuk itu perlu pengelolaan makanan yang memenuhi syarat kesehatan yang disebut dengan istilah penyehatan makanan. Pengelolaan higiene sanitasi makanan yang baik harus memperhatikan beberapa faktor yaitu higiene sanitasi tempat, higiene sanitasi peralatan, hygiene penjamah, dan higiene sanitasi makanan yang terdiri dari enam prinsip yaitu pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan makanan, penyimpanan makanan masak, pengangkutan makanan, dan penyajian makanan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengolahan makanan antara lain persiapan tempat pengolahan seperti dapur yang harus memenuhi persyaratan, antara lain terdapat tempat pencucian peralatan; tempat penyimpanan bahan makanan; tempat persiapan; serta tempat pengolahan.

Peralatan masak adalah semua perlengkapan yang diperlukan dalam proses pengolahan makanan seperti pisau, sendok, kuali dan lain-lain. Adapun yang perlu diperhatikan dalam perlengkapan dan peralatan masak adalah bentuk peralatan mudah dibersihkan dan tidak boleh berlekuk, tidak boleh digunakan untuk keperluan lain selain memasak, mengolah makanan dan penyimpanan makanan.
Wadah penyimpanan makanan seperti kuali, baskom, panci harus dalam keadaan bersih. Selain itu peralatan untuk penyimpanan makanan harus terpisah untuk makanan matang dan mentah, bahan makanan kering dan bahan makanan basah dan terpisah untuk setiap jenis makanan.
Agar terhindar dari pencemaran, selama proses pengolahan terdapat beberapa persyaratan, antara lain meliputi :

  • Semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung dari tubuh.
  • Setiap petugas yang bekerja disediakan pakaian kerja minimal celemek (apron) dan penutup rambut (hair cover), khusus untuk penjamah makanan disediakan sarung tangan plastik yang sekali pakai (dispossable), penutup hidung dan mulut (mounth and nose masker).
  • Perlindungan kontak langsung dengan makanan jadi menggunakan sarung tangan plastik, penjepit makanan, sendok, garpu dan sejenisnya.

Article source : Prinsip-Prinsip Higiene Sanitasi Makanan. Ditjen PPM dan PLP Depkes RI : Jakarta (1999).

Wednesday, September 23, 2015

Perilaku dan Masalah Kesehatan


Pengertian perilaku dan faktor yang mempengaruhinya.

Di dunia kesehatan masyarakat, tentu kita sangat paham teori Bloom, dimana dinyatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat ditentukan oleh faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan faktor heredity. Berikut beberapa pendapat tentang pengertian dan aspek-aspek yang mempengaruhi perilaku seseorang.

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi antara manusia dengan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dalam interaksi manusia dan lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi  dua, yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, emosi, inovasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik separti iklim, sosial ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.

Perilaku Buang Air Besar
Perilaku yang terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor utama, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar diri seseorang (faktor eksternal) dan respon yang merupakan faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan (faktor internal). Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik maupun non fisik dalam bentuk sosial budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor eksternal yang paling besar perannya dalam membentuk perilaku manusia adalah faktor sosial dan budaya tempat seseorang tersebut berada. Faktor internal yang menentukan seseorang merespon stimulus dari luar adalah perhatian, pengamatan, persepsi motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya.

Terdapat empat cara untuk membentuk perilaku, yaitu melalui penguatan positif, penguatan negatif, hukuman dan pemunahan. Bila suatu respon diikuti dengan sesuatu yang menyenangkan, respon tersebut penguatan positif. Bila suatu respon diikuti oleh dihentikannya atau ditarik kembalinya sesuatu yang tidak menyenangkan, disebut penguatan negatif. Kedua penguatan positif dan negatif tersebut akan menentukan hasil dari proses belajar. Keduanya memperkuat respon dan meningkatkan kemungkinan untuk mengulangi perilaku yang dipelajari. Penghukuman akan mengakibatkan suatu kondisi yang tidak enak dalam suatu usaha untuk menyingkirkan suatu perilaku yang tidak diinginkan. Proses pembentukan sikap dan perilaku berlangsung secara bertahap dan melalui proses belajar yang diperoleh dari berbagai pengalaman atau menghubungkan pengalaman dengan hasil belajar.
  
Pendapat lain menyatakan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku terjadi melalui proses adanya stimilus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespon (teori Skinner atau teori Stimulus-Organism-Response). Berdasarkan teori S-O-R perilaku manusia dikelompokan menjadi dua, yaitu  perilaku tertutup dan perilaku terbuka.

Perilaku tertutup (covert behavior), terjadi jika respon terhadap stimulus masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk covert behavior yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap. Sedangkan perilaku terbuka (overt behavior), terjadi jika respon terhadap stimulus sudah berupa tindakan atau praktek yang dapat diamati orang dari luar.

Perilaku adalah suatu fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan lingkungannya. Perilaku seseorang ditentukan oleh banyak faktor. Adakalanya perilaku seseorang dipengaruhi oleh kemampuannya, adapula karena kebutuhannya dan ada juga yang dipengaruhi oleh pengharapan dan lingkungannya. Perilaku merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif atau tanpa tindakan seperti berpikir, berpendapat, bersikap maupun aktif atau melakukan tindakan.

Menurut Bloom perilaku dapat dipilah dalam 3 domain, yaitu domain kognitif (cognitive), domain afektif (affective) dan domain psikomotor (psychomotor).

Terbentuknya perilaku dimulai pada domain kognitif, yaitu dimulai tahu terlebih dahulu terhadap stimulus sehingga menumbulkan pengetahuan baru. Pengetahuan baru ini selanjutnya akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap baru yang pada akhirnya akan menimbulkan respon yang lebih tinggi lagi yaitu adanya tindakan sehubungan dengan stimulus atau objek tadi.

Terdapat beberapa teori determinan perilaku, atau faktor yang menentukan atau membentuk perilaku menurut misalnya teori Green, dan teori WHO. Berdasarkan teori Green (didasarkan pada masalah kesehatan), membedakan dua determinan masalah kesehatan yaitu faktor perilaku  (behavioral factors) dan faktor non perilaku (non behavioral factors ). Sedangkan faktor pembentuk perilaku, antara lain : Predisposing factors, adalah faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi. Faktor berikutnya adalah enabling faktor, yaitu faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Antara lain umur, status sosial ekonomi, pendidikan, prasarana dan sarana serta sumberdaya. Sedangkan faktor terakhir berupa faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors), yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku misalnya dengan adanya contoh dari para tokoh masyarakat yang menjadi panutan.

Sedangkan menurut teori WHO, beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku antara lain pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling) atau pertimbangan pribadi seseorang terhadap objek atau stimulus. Faktor selanjutnya adalah faktor  personal references, faktor sumber daya (resourcesserta faktor sosial budaya (culture) setempat.

Reference :
  • Thoha. M. 2005. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 
  • Green, L.W, dan Kreuter, M.W. 2000.Health Promotion Planning; An Educational and Environmental Approach, second edition, Mayfield Publishing Company, London.
  • Notoatmodjo, S . 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, (edisi revisi), Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Tuesday, August 25, 2015

Pengendalian Vektor DBD


Macam -Macam Metode Pengendalian Vektor DBD

Kondisi lingkungan fisik sangat mempengaruhi penyebaran nyamuk Ae. Aegypti di sekitar kita. Selain itu juga lingkungan biologik serta perilaku masyarakat yang masih . Kondisi lingkungan biologi meliputi tingkat kelembapan, intensitas cahaya yang rendah, banyaknya naungan seperti pepohonan, adanya predator merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan spesies ini. Kondisi lingkungan fisik seperti letak dan karakteristik rumah, jenis kontainer atau tempat penampungan air, warna dinding rumah dan pengaturan perabotan di dalam rumah berpengaruh pada populasi nyamuk Ae. Aegypti. Perilaku masyarakat juga berpengaruh besar karena perilaku masyarakat dapat memberikan daya dukung lingkungan bagi perkembangan nyamuk. Kebiasaan hidup menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan seperti 3M (Menguras, Mengubur dan Menutup tempat penampungan air) sebagai upaya mencegah terjadinya wabah DBD. Kebiasaan menggantung baju di rumah dan aktivitas masyarakat yang memberikan akibat naiknya daya dukung lingkungan terhadap perkembangan nyamuk Ae. aegypti. Tinggi rendahnya populasi nyamuk Ae.aegypti L. berpengaruh pada kejadian kasus DBD (Sugito, 1989).

Sanitasi lingkungan dan pemukiman juga memberikan dukungan terhadap terjadinya kasus DBD. Vektor DBD nyamuk Ae. aegypti L. membutuhkan tempat hidup yang sesuai dengan kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang biak. Kondisi lingkungan dan pemukiman masyarakat yang tidak bersih dan sehat dapat memberikan daya dukung lingkungan yang tinggi terhadap perkembangan nyamuk Ae. aegypti L. Selain dari itu mobilitas dan aktivitas masyarakat dapat mempengaruhi juga tingkat kejadian DBD di suatu daerah. Menurut Widyastuti (2004) faktor faktor yang menyebabkan terjadinya kasus DBD adalah Bertambahnya jumlah penduduk, Urbanisasi yang tidak terencana dan terkendali, Manajemen sampah dan penyediaan air bersih yang tidak adekuat, Peningkatan dan penyebaran vektor nyamuk, Kurang efektifnya pengendalian nyamuk, serta Memburuknya infrastruktur di bidang kesehatan masyarakat

Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti L.dan Aedes albopictus tetapi yang menjadi vektor utamanya adalah Ae. aegypti L. Sampai saat ini penyakit ini belum ada vaksin dan obat yang dapat mencegah terjadinya penularan. Menurut Depkes (2004), cara memberantas vektor penyakit demam berdarah yang paling tepat adalah dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan sanitasi lingkungan yang dapat diterapkan di masyarakat adalah dengan cara Pemberantasan Sarang Nyamuk, perbaikan penyediaan air bersih, perbaikan pengelolaan sampah padat, perubahan tempat perkembangbiakan buatan manusia dan perbaikan desain rumah. Hal ini dapat menurunkan daya dukung lingkungan (carrying capasity) terhadap perkembangan nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor utama penyakit demam berdarah dengue. Pemberantasan vektor DBD dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu :

Pengelolaan lingkungan : Pengelolaan lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat mencegah atau meminimalkan perkembangan vektor sehingga kontak manusia dengan vektor berkurang. Upaya pengelolaan lingkungan yang dapat diterapkan dalam rangka mengendalikan populasi Ae. aegypti adalah :

Modifikasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), modifikasi lingkungan adalah suatu transformasi fisik permanen (jangka panjang) terhadap tanah, air dan tumbuh­tumbuhan untuk mencegah/menurunkan habitat jentik tanpa mengakibatkan kerugian bagi manusia. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk modifikasi lingkungan antara lain : perbaikan persediaan air bersih, tanki air atau reservoar di atas atau di bawah tanah dibuat anti nyamuk dan pengubahan fisik habitat jentik yang tahan lama (WHO, 2001).

Manipulasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), manipulasi lingkungan adalah suatu pengkondisian sementara yang tidak menguntungkan atau tidak cocok sebagai tempat berkembangbiak vektor penular penyakit. Beberapa usaha yang memungkinkan dapat dilakukan antara lain antara lain pemusnahan tempat perkembangbiakan vector, misalnya dengan 3 M plus.

Perubahan habitat atau perilaku manusia : Upaya untuk mengurangi kontak antara manusia dengan vektor, misalnya pemakaian obat nyamuk bakar, penolak serangga dan penggunaan kelambu (WHO, 2001).

Pengendalian biologis : Antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan cupang) dan penggunaan bakteri endotoxin seperti Bacillus thuringiensis dan Bacillus sphaericus.

Pengendalian dengan bahan kimia : Antara lain dengan cara pengasapan (fogging) menggunakan malathion sebagai upaya pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dan pemberantasan terhadap jentik dengan memberikan bubuk abate (abatisasi) yang biasa digunakan yakni temephos (Depkes, 2004).

Monday, July 27, 2015

Jenis dan Penggolongan Vaksin

Jenis Vaksin Berdasarkan Penggolongannya dan berdasarkan sensitivitas Pada Suhu

Vaksin pertama diuat pada tahun 1877 oleh Louis Pasteur dengan menggunakan kuman hidup yang telah dilemahkan. Vaksin ini terutama digunakan untuk vaksinasi cowpok dan smallpox. Pada tahun 1881 kemudian dibuat vaksin anthrax, sedangkan vaksin rabies dibuat pada tahun 1885. Pada dasarnya ini vaksin merupakan produk biologis yang dibuat dari kuman maupun komponen kuman seperti bakteri, virus atau riketsia. 

Sebagaimana kita ketahui penggunaan vaksin banyak dilakukan pada Program Pemberantasan Penyakit Menular. Hal ini disebabkan penyakit menular masih menjadi bagian dari masalah kesehatan utama di Indonesia. Kondisi ini masih ditambah dengan pertimbangan, adanya  beberapa penyakit menular yang juga merupakan masalah global.

Pelayanan imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Imunisasi merupakan upaya pencegahan penyakit menular yang terbukti paling efektif dan berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat. Melalui imunisasi penyakit cacar telah terbasmi dan Indonesia dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974. Mulai tahun 1977 imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi dalam rangka pencegahan penularan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu Tuberculosis, Difteri, Pertusis, Polio, Campak, Tetanus dan Hepatitis B (Depkes RI, 1999).

Berikut informasi terkait dengan penggolongan vaksin dan imunisasi yang pentig diketahui rekan-rekan praktisi public health.

Penggolongan Vaksin dibedakan berdasarkan asal antigen  dan berdasarkan sensitivitas terhadap suhu. Penggolongan berdasarkan asal antigen (Immunization Essential. Berdasarkan asal antigen, vaksin dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

Live attenuated, berasal dari bakteri atau virus hidup yang dilemahkan). Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan mudah mengalami kerusakan bila kena panas dan sinar, oleh karenanya vaksin golongan ini harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati. Vaksin hidup attenuated yang tersedia di pasaran terbagi dua macam, yaitu yang berasal dari virus hidup seperti vaksin campak, rubella, polio, rotavirus, dan demam kuning. Sementara jenis lain berasal dari bakteri sepertti vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Inactivated, berasal dari bakteri, virus atau komponennya, dibuat tidak aktif). Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus dalam media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif dengan penambahan bahan kimia (biasanya formalin). Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A. Juga dari seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, toksoid seperti difteria, tetanus. Berasal dari Polisakarida murni, seperti pneomukokus, meningokokus, serta berasal dari gabungan polisakarida.

Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik. Produk ini sering disebut sebagai vaksin rekombinan. Contoh vaksin dari rekayasa genetik yang saat ini telah tersedia antara lain vaksin Hepatitis B dan vaksin tifoid.

Penggolongan berdasarkan sensitivitas terhadap suhu menurut WHO (2002), antara lain :
  1. Vaksin yang peka terhadap suhu dingin dibawah 0o C yaitu vaksin FS (Freeze Sensitive = Sensitif Beku). Vaksin yang tergolong FS adalah: Hepatitis B (dalam kemasan vial atau kemasan Pre fill Injection Device), DPT, DPT-HB, DT, TT.
  2. Vaksin yang peka terhadap suhu panas berlebih ( > 34oC ), yaitu vaksin HS (Heat Sensitive = Sensitif Panas), seperti: BCG, Polio, Campak

Thursday, November 20, 2014

Pencegahan Hepatitis B dengan Imunisasi


Cara Efektif Mencegah Penyakit Hepatitis B Pada Anak Kita

Cara mencegah hepatitis B paling efektif dilakukan dengan imunisasi. Vaksin hepatitis B dapat diberikan secara aman kepada bayi-bayi tidak lama sesudah kelahiran dan selama masa pertumbuhan.

Terdapat beberapa strategi dasar dan utama utama untuk mencegah infeksi Virus Hepatitis B. Pada negara maju, strategi efektif dapat dilakukan dengan mengubah perilaku seksual dan meningkatkan skrining darah. Sedangkan pada negara berkembang seperti Indonesia, dimana bayi yang baru lahir dan anak- anak yang dalam masa pertumbuhan memiliki resiko tinggi untuk terinfeksi, cara paling efektif dilakukan dengan imunoprofilaksis, baik aktif maupun pasif.

Imunoprofilaksis pasif, dilakukan dengan Imunoglobulin hepatitis B (HBIG), yang merupakan larutan steril yang mengandung antibodi yang dapat melawan  hepatitis B. HBIG ini diambil dari darah donor yang telah mempunyai antibodi terhadap hepatitis B dan digunakan sebagai imunoprofilaksis pasif. Imunoprofilaksis pasif ini digunakan dalam 4 keadaan, yaitu ketika bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi hepatitis B; setelah terpapar jarum suntik; setelah berhubungan seksual; dan setelah transplantasi hepar. Imunoprofilaksis diwajibkan pada bayi yang terlahir dari ibu yang positif HBsAg.

Imunisasi aktif: Pencegahan infeksi primer dengan vaksin merupakan strategi utama dalam menurunkan resiko Virus Hepatitis B kronis dan komplikasinya. Sejarah perkembangan Vaksin Hepatitis B dimulai ketika ditemukan vaksin generasi pertama pada tahun 1982. Kemudian vaksin generasi kedua, vaksin HB dengan rekombinan DNA, pada tahun 1986. Kedua vaksin telah terbukti aman dan efektif dalam mencegah terjadinya infeksi hepatitis B. Tahun 1991, WHO mencanangkan bahwa imunisasi hepatitis B harus termasuk dalam sistem imunisasi nasional pada negara-negara dengan tingkat pembawa HB-nya 8% atau lebih sampai tahun 1995, dan pada tahun 1997 untuk semua negara.

Vaksin Hepatitis B
Sejak tahun 1982, vaksin hepatitis B merupakan   vaksin pertama untuk melawan kanker pada manusia. Vaksin ini diperoleh dari plasma maupun melalui teknologi rekombinasi DNA dan telah terbukti aman dan efektif. Sampai saat ini telah lebih dari 1 triliun vaksin digunakan. Tidak terdapat efek samping yang serius setelah pemberian imunisasi ini. Efek samping yang sering terjadi berupa rasa nyeri ditempat suntikan dan demam ringan yang dapat hilang dalam 1-2 hari.

Jika diberikan secara benar maka imunisasi ini  dapat melindungi 95% orang sehat dari penyakit hepatitis akut begitu juga dengan penyakit kronisnya seperti sirosis dan kanker hepar. Imunisasi diberikan dalam tiga dosis secara intramuskular. Dosis pertama dan kedua diberikan pada bulan pertama kelahiran dan dosis ketiga diberikan 1-12 bulan setelah dosis kedua. Vaksin hepatitis B ini dapat diberikan bersama dengan vaksin penyakit lain seperti campak, dipteri-tetanus¬pertusis, polio, BCG, dan demam kuning. Tingkat perlindungan yang diberikan oleh vaksin tergantung pada umur. Bayi baru lahir, anak-anak, dan remaja mempunyai perlindungan yang tinggi setelah pemberian imunisasi sedangkan orang dewasa dan pasien dengan imunodefisiensi mempunyai tingkat perlindungan yang rendah.

Pemberian Imunisasi Hepatitis B dilakukan secara periodik. Berdasarkan hal ini maka Departemen Kesehatan RI menetapkan tujuan khusus program imunisasi hepatitis B, antara lain memberikan imunisasi hepatitis B 3 dosis kepada minimal 80% bayi berumur 0-11 bulan, dimana pemberian dosis pertama dari vaksin kepada bayi sedini mungkin sebelum berumur 7  hari. Dengan detail jadwal yaitu:
- Pada umur 2 bulan dengan jenis antigen BCG,Polio 1,DPT 1.
- Pada umur 3 bulan dengan jenis antigen HB 1,Polio 2,DPT 2.
- Pada umur 4 bulan jenis antigen HB 2,Polio 3,DPT 3.
- Sedangkan pada umur 9 bulan, jenis antigen yang diberikan adalah HB Polio 4 dan Campak

Refference, antara lain Petunjuk Teknis Pelaksanaan Imunisasi  Hepatitis B, edisi 4. Depkes.RI. 1997.

Wednesday, October 22, 2014

Aspek dukungan sosial

Pengertian, Aspek, dan Fungsi Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (1994) terdapat beberapa aspek yang terlibat didalam pemberian dukungan sosial,  antara lain :
  1. Aspek emosional. Aspek ini melibatkan kelekatan, jaminan dan keinginan untuk percaya pada orang lain, sehingga seseorang menjadi yakin bahwa orang lain tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang.
  2. Aspek instrumental. Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk mempermudah menolong orang lain, meliputi peralatan, perlengkapan, dan sarana pendukung yang lain termasuk didalamnya memberikan peluang waktu.
  3. Aspek informatif. Meliputi pemberian informasi untuk mengatasi masalah pribadi. Terdiri atas pemberian nasehat, pengarahan dan keterangan lain yang dibutuhkan.
  4. Aspek penilaian. Aspek ini terdiri atas dukungan peran sosial yang meliputi umpan balik, pertandingan sosial dan afirmasi (persetujuan).

Fungsi dukungan sosial
Menurut Weiss cit Ruwaida (2006), terdapat enam fungsi sosial ditinjau dari fungsi sosial yang diperoleh individu melalui hubungannya dengan orang lain sebagai berikut:
  1. Kelekatan, yaitu perasaan kedekatan emosi dan timbulnya rasa aman.
  2. Integrasi sosial, yaitu perasaan memiliki sekelompok orang yang dapat berbagi tentang hal-hal yang umum dan aktivitas rekreasional.
  3. Penghargaan, yaitu pengakuan terhadap kemampuan dan keterampilan seseorang.
  4. Ikatan yang dapat dipercaya, jaminan bahwa seseorang dapat mengandalkan orang lain untuk mendapatkan bantuan dalam berbagai keadaan. Biasanya bantuan ini diperoleh dari anggota keluarga, misalnya suami.
  5. Bimbingan, berisi nasihat dan informasi yang biasanya diperoleh dari guru atau figur orang tua.
  6. Kesempatan untuk mengasuh, yaitu perasaan ikut bertanggungjawab atas kesejahteraan orang lain.

Sedangkan fungsi dukungan sosial menurut Wills cit Ruwaida (2006), yaitu :
  1. Esteem Support. Di dalam kehidupannya, individu menghadapi berbagai tantangan yang mengancam harga dirinya sehingga timbul keraguan individu tentang kapasitas kemampuan yang dimilikinya. Sumber interpersonal yang mampu mengatasi ancaman terhadap harga diri ini adalah memiliki seseorang atau beberapa orang tempat bercerita mengenai suatu permasalahan. Unsur penting dari sumber dukungan sosial tersebut adalah rasa diterima dan dihargai oleh orang lain. Orang mendapat penerimaan dan persetujuan dari significant others, evaluasi diri dan harga diri individu akan meningkat.
  2. Informational Support. Jika permasalahan dapat dengan cepat diselesaikan, maka kemungkinan individu akan mulai mencari informasi tentang sifat masalah dan bimbingan tentang langkah¬langkah yang harus dilakukan. Dukungan informasi yang berupa pengetahuan baru, nasihat atau bimbingan. Membantu individu ketika melakukan pembatasan masalah sehingga ia memperoleh jalan keluar yang efektif untuk mengatasi permasalahannya tersebut.
  3. Instrumental Support. Instrumental support dapat mencakup berbagai aktifitas seperti dapat membantu pekerjaan rumah tangga, bantuan keuangan atau memberikan barang yang dibutuhkan.
  4. Motivasional Support. Jaringan sosial dapat memberikan dukungan yang berupa semangat kepada seseorang untuk berusaha menemukan solusi atas permasalahannya, meyakinkan bahwa individu tersebut akan sukses dan meyakinkan bahwa permasalahan tersebut akan dapat teratasi bersama.

Referensi:
  1. Ruwaida, A. 2006. Hubungan Antara Kepercayaan Diri dan Dukungan Keluarga dengan Kesiapan Menghadapi Masa Menopause. Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, vol. 8, No.2, Nopember 2006
  2. Sarafino, E.P. 1994. Health Psychology. Biopsychosocial Interactions. New York: John Willey & Sons, Inc.

Epidemiologi dan Resiko Tuberkulosis

Faktor Penyebab dan Resiko Tuberkulosis


Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP). Terdapat dua jenis bakteri ini, yaitu Mycobacterium tuberkulosis, Mycobacterium bovis dan Mycobacterium arifacum. Penularan M. tuberkulosis terjadi melalui udara yang mengandung basil TB dalam percikan ludah yang dikeluarkan oleh penderita TB paru atau TB laring pada waktu mereka batuk, bersin atau pada waktu bernyanyi.

Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Sedangkan tingkat kematian tertinggi akibat tuberkulosis terjadi pada anak di bawah umur 4 tahun.


Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu diagnosis yang tidak tepat;  pengobatan yang tidak adekuat;  program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat;  infeksi endemik human immuno¬deficiency virus (HIV); migrasi penduduk;  mengobati sendiri (self treatment);  meningkatnya kemiskinan;  pelayanan kesehatan yang kurang memadai.

Faktor Risiko Terjadinya Infeksi Tuberkulosis

Faktor risiko terjadinya TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Risiko untuk menjadi sakit paling tinggi pada usia dibawah 3 tahun dan paling rendah pada usia akhir masa kanak-kanak.

Faktor risiko infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius dan tidak ada hubungan dengan faktor keturunan atau faktor lainnya pada pejamu. Berarti, bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin dekat bayi tersebut dengan ibunya, makin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.

Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena kuman TB sangat jarang ditemukan dalam sekret endobrokial, dan jarang terdapat batuk.

Walaupun TBC menempati rangking terendah diantara penyakit menular berdasarkan lama waktu pajanan, namun pajanan dalam jangka waktu lama dalam lingkungan keluarga menyebabkan risiko terinfeksi sebesar 30%. Jika infeksi terjadi pada anak maka risiko menjadi sakit selama hidupnya sekitar 10%.


Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.

Anak yang telah terinfeksi kuman TB, tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan progresi infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Faktor risiko yang lain adalah konversi tes tuberkulin dalam 1-2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, pengobatan imunosupresi), diabetes melitus, gagal ginjal kronik, dan silikosis.

Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah dan kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat.

Gejala Penyakit TBC

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

Gejala umum
  • Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
  • Penurunan nafsu makan dan berat badan.
  • Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
  •  Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

Gejala khusus
  • Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
  • Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
  • Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
  • Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan � 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

Tuesday, October 21, 2014

Fasilitator Desa Siaga

Peran dan Fungsi Fasilitator Desa Siaga

Desa siaga merupakan desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Desa siaga adalah suatu konsep peran serta dan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa, disertai dengan pengembangan kesiagaan dan kesiapan masyarakat untuk memelihara kesehatannya secara mandiri.

Dalam pelaksanaan kegiatan desa siaga, masyarakat difasilitasi oleh 1 orang fasilitator desa siaga. Proses fasilitasi mengandung pengertian membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat dan mampu mengembangkan diri untuk melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Fungsi Fasilitator desa siaga antara lain :
  1. Sebagai narasumber: Seorang Fasilitator desa siaga harus mampu menyediakan dan siap dengan informasi-informasi termasuk pendukungnya yang berkaitan dengan pelaksanaan dan tahapan-tahapan dalam program Desa siaga. Seorang Fasilitator desa siaga harus mampu menjawab, memberikan ulasan, gambaran analisis maupun memberikan saran atau nasihat yang kongkrit dan realistis agar dapat diterapkan.
  2. Sebagai guru: Seorang Fasilitator desa siaga harus mampu menyampaikan materi yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi dan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat serta mudah diterapkan tahap demi tahap.
  3. Sebagai mediator: a)    Mediasi potensi : Seorang Fasilitator desa siaga diharapkan dapat membantu masyarakat memediasi/mengakses potensi-potensi yang dapat mendukung pengembangan dirinya, misalnya sektor swasta, perguruan tinggi, LSM dan sebagainya. b)    Mediasi berbagai kepentingan: Seorang Fasilitator desa siaga diharapkan juga dapat berperan sebagai orang yang dapat menengahi apabila di antara kelompok atau individu di masyarakat terjadi perbedaan kepentingan. 
  4. Sebagai perangsang atau penantang (challenger): Seorang Fasilitator desa siaga harus mampu merangsang dan mendorong masyarakat untuk menemukan dan mengenali potensi dan kapasitasnya sendiri, sehingga masyarakat dapat melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan secara mandiri.

Refferrence, antara lain : Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 564/MENKES/SK/VI II/2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa siaga

Thursday, August 14, 2014

Protap Penanganan Difteri

Prosedur Penanganan Penderita dan Penanganan Wabah Difteri

Beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya infeksi difteri pada orang dewasa antara lain menurunnya imunitas tubuh. Penurunan imunitas tersebut disebabkan banyak faktor, antara lain karena imunitas hanya didapat waktu bayi, imunisasi tidak lengkap, juga menurunnya tingkat sosial ekonomi masyarakat.

Difteri merupakan suatu penyakit infeksi yang mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium Diphtheriae. Yang diserang traktus respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin.

Terdapat beberapa standar penanganan difteri, baik pada penderita, kontak dan lingkungan sekitar, antara lain sebagai berikut :
  1. Setiap ada kasus diduga difteri harus segera dilaporkan kepada petugas kesehatan setempat. Alur pelaporan kasus difteri dari sarana pelayanan kesehatan adalah dari puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berupa laporan W1 yang harus dilaporkan dalam jangka waktu 1 x 24 jam baik berupa lisan maupun tulisan, serta harus dilaporkan dalam laporan mingguan (W2). Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan ke Dinas Kesehatan Propinsi dan selanjutnya ke Kementerian Kesehatan. Kecepatan dalam melaporkan kasus sangat menentukan kecepatan dan ketepatan dalam penanganan kasus.
  2. Dilakukan Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteri faringeal. Isolasi untuk difteri kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteri kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat.
  3. Dilakukan desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita.
  4. Dilakukan tindakan karantina: Karantina dilakukan pada saat terjadi KLB terhadap orang dewasa yang dinyatakan karier dan pekerjaannya berhubungan dengan mengolah makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka selesai diobati dengan antibiotika yang dianjurkan dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan karier.
  5. Melakukan manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur sampel hidung dan tenggorokan dan harus diawasi selama 7 hari. Selama pengawasan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteri tanpa melihat status imunisasi mereka,    diberikan Profilaksis dosis tunggal Benzathine Penicillin atau Erythromycin selama 7-10 hari. Khusus untuk kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan karier.
  6. Untuk meningkatkan imunitas kontak,  jika kontak pernah mendapat imunisasi dasar lengkap dan jarak booster sudah lebih dari lima tahun, maka pada saat ada kasus difteri harus dibooster, sedangkan bagi kontak yang belum pernah diimunisasi, untuk meningkatkan kekebalan, pemberian imunisasi pada kontak harus dipilah berdasar usia apakah dengan vaksinasi: Td, DT, DPT, DtaP atau DPT-Hib
  7. Dilakukan penyelidikan epidemiologi : setiap ada 1 kasus difteri baik di rumah sakit, puskesmas maupun masyarakat harus dilakukan penyelidikan epidemiologi yang bertujuan untuk menegakan diagnosis, memastikan terjadi KLB dan menemukan kasus tambahan serta kelompok rentan
  8. Melakukan pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteri didasarkan kepada gejala klinis maka antibodi ADS 40.000 unit IM atau IV harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. Penanganan pasien tersangka difteri harus diberi penisilin prokain dengan dosis 50.000 unit/kgBB secara IM setiap hari selama 7 hari.
Sedangkan prosedur penanggulangan wabah, antara lain dilakukan dengan :
  1. Program imunisasi yang sudah dilakukan pada saat ini harus lebih ditingkatkan seluas mungkin terhadap kelompok yang mempunyai risiko terkena difteri karena telah terbukti memberikan perlindungan bagi bayi dan anak-anak prasekolah. Jika wabah terjadi pada orang dewasa, imunisasi dilakukan terhadap orang yang paling berisiko terkena difteri. Imunisasi diulang sebulan kemudian untuk memperoleh sekurang-kurangnya 2 dosis.
  2. Penyelidikan epidemiologi untuk mengidentifikasi mereka yang kontak dengan penderita dan mencari orang-orang yang berisiko. Di lokasi yang terkena wabah dan fasilitasnya memadai, lakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dilaporkan untuk menetapkan diagnosis dari kasus-kasus tersebut dan mengetahui biotipe dan toksisitas dari Corynebacterium diphtheriae.

Refference, antara lain :
  • Prosedur kerja surveilans faktor risiko penyakit menular dalam intensifikasi pemberantasan penya kit menular terpadu berbasis wilayah, khusus faktor risiko lingkungan dan perilaku penya kit ISPA, Malaria, TBC, Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan Hepatitis B, Dirjen PPM&PL, Depkes  RI. 2004.
  • Chin, J,(2000) Control of communicable diseases manual , American Public Health Association, Washington.
  • Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di Kabupaten/Kota, WHO Indonesia, 2009,  Depkes RI

Monday, November 11, 2013

Surveilans Kematian Maternal

Surveilans Epidemiologi Kematian Ibu

Diantara beberapa tujuan dan indikator Millenium Development Goals (MDGs), penurunan angka kematian ibu di Indonesia masih sangat lambat bergerak. Berdasarkan data, angka kematian ibu melahirkan tidak mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir. Berdasarkan target 102 kematian per 100.000 kelahiran pada tahun 2015, angka kematian ibu saat ini masih pada angka 228 jiwa tiap 100.000 kelahiran, sama seperti tahun 2007. Menurut data yang dikeluarkan Unicef saat ini diperkirakan masih terdapat sekitar  150.000 anak meninggal di Indonesia setiap tahun sebelum mereka mencapai ulang tahun kelima, dan hampir 10.000 wanita meninggal setiap tahun karena masalah kehamilan dan persalinan.

Kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang terjadi pada saat hamil atau dalam 42 hari setelah persalinan, tanpa memperhitungkan lama dan tempat terjadinya kehamilan yang diakibatkan berbagai sebab yang berhubungan atau diperberat oleh kehamilannya atau penatalaksanaannya, tetapi bukan oleh kecelakaan. Sedangkan pengukuran kematian ibu dinyatakan dalam tiga bentuk ukuran, yaitu Maternal mortality ratio (MMR), Maternal mortality rate, serta Lifetime risk.

Untuk melakukan penyelidikan secara epidemiologis, dilakukan kegiatan surveilans kematian ibu. Surveilans epidemiologi kematian ibu didefinisikan sebagai suatu komponen sistem informasi kesehatan yang memungkinkan dilakukan identifikasi, pencatatan, penghitungan dan penentuan penyebab dan pencegahan kematian ibu pada periode waktu dan lokasi tertentu dengan tujuan yang berorientasi pada pengukuran yang penting untuk pencegahan. Setiap surveilans bertujuan untuk mengidentifikasi, yaitu menyelidiki semua kematian yang disebabkan oleh kehamilan, komplikasi dan manajemennya. Dengan pengidentifikasian dan penyelidikan setiap kematian ibu maka tingkat resiko dan penyebab masalah yang ada bisa dipahami dengan cukup baik untuk mengevaluasi dan mengembangkan intervensi.

Salah satu tujuan utama surveilans kematian ibu adalah untuk mengambil tindakan berdasarkan hasil analisa data. Hasil ini akan membantu menentukan permasalahan, menentukan ruang lingkup masalah, mengidentifikasi faktor medis dan non medis yang berhubungan dengan penyebab, dan menentukan intervensi yang penting untuk pengendalian masalah dan untuk mencegah kejadian berulang di masa mendatang. Tujuan lainnya adalah untuk membantu dan memandu para pengambil kebijakan di berbagai tingkat untuk mengawasi, merencanakan, mengevaluasi program-program kesehatan ibu yang ada dan mengalokasikan sumber daya serta sebagai alat advokasi.

Menurut International Classification of Disease, bahwa jenis kematian ibu dikelompokkan menjadi dua bentuk klasifikasi, yaitu : :
  1. Direct obstetric deaths (kematian obstetrik langsung): kematian yang terjadi karena komplikasi obstetrik pada saat kehamilan, persalinan dan nifas; tindakan-tindakan, kesalahan-kesalahan, penanganan yang tidak benar, atau sebagai akibat rangkaian kejadian tersebut di atas.
  2. Indirect obstetric deaths (kematian obstetric tidak langsung) : kematian yang terjadi karena penyakit yang sudah ada sebelumnya atau penyakit yang timbul selama kehamilan dan tidak disebabkan oleh penyebab obstetric langsung, tetapi diperparah oleh pengaruh fisiologis kehamilan.
Faktor Penyebab Kematian Ibu
Secara umum penyebab kematian ibu dapat digolongkan kedalam penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung berkaitan dengan kondisi saat melahirkan seperti pendarahan, hipertensi atau tekanan darah tinggi saat kehamilan (eklampsia), infeksi, partus lama, dan komplikasi keguguran. Penyebab langsung tersebut diperburuk oleh status kesehatan dan gizi ibu yang kurang baik. Sedangkan penyebab tidak langsung antara lain adalah rendahnya taraf pendidikan perempuan, kurangnya pengetahuan kesehatan reproduksi, rendahnya status sosial ekonomi, kedudukan dan peran ibu yang tidak menguntungkan dalam keluarga, kuatnya tradisi dan budaya lokal dalam menyikapi proses persalinan, serta kurangnya ketersediaan pelayanan kesehatan dan keluarga berencana.

Salah satu model analisa faktor-faktor yang menentukan penyebab terjadinya kematian ibu dikembangkan oleh Mc. Carthy dan Maine (1992). Beberapa faktor terkait antara lain a) Faktor penentu tidak langsung (distant factor) yaitu sosial ekonomi dan budaya b) Faktor perantara (intermediate factor) yang terdiri dari status kesehatan, status reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. c) Faktor outcome, antara lainfaktor kehamilan, komplikasi dan kematian.

Refferece, antara lain :
  • Paxton, A.,et al. 2003. Using The UN Process Indicators of Emergency Obstetric Services.
  • Graham W.J. et al. .2008. Measuring progress in reducing maternal mortality. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology.
  • Berg, C., Danel, I. & Mora, G. (1998) Guidelines for Maternal Mortality Epidemiological Surveillance

Tuesday, April 16, 2013

Teori Evaluasi

Tujuan dan Fungsi Evaluasi

Menurut Supriyanto (1998) tujuan pelaksanaan evaluasi suatu program antara lain :
  1. Sebagai alat untuk memperbaiki kebijaksanaan dan perencanaan program yang akan datang. Hasil evaluasi memberikan pengalaman mengenai hambatan atau pelaksanaan program, yang kemudian dapat dipergunakan untuk memperbaiki kebijaksanaan dan pelaksanaan program yang akan datang.
  2. Sebagai alat untuk memperbaiki alokasi sumber dana, daya dan manajemen (resources) saat ini serta di masa mendatang. Tanpa adanya evaluasi akan terjadi pemborosan penggunaan sumber dana dan daya yang sebenarnya dapat diadakan penghematan serta penggunaan untuk program-program lain,
  3. Memperbaiki pelaksanaan dan perencanaan kembali suatu program. Sehubungan dengan ini diperlukan adanya kegiatan dilakukan, antara lain mengecek kembali relevansi program dalam perubahan-perubahan kecil yang terus menerus, mengukur kemajuan terhadap target yang direncanakan, menentukan sebab dan faktor di dalam maupun di luar yang mempengaruhi pelaksanaan program.
Sementara menurut WHO (1990), secara umum evaluasi dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu:
  1. Evaluasi formatif (formative evaluation), evaluasi pada tahap pengembangan program. Jadi sebelum program dimulai, evaluasi normatif ini menghasilkan informasi yang akan digunakan untuk mengembangkan program agar program menjadi lebih sesuai dengan kondisi sasaran. Tujuan utamanya adalah untuk menyakinkan bahwa rencana yang akan disusun benar-benar telah sesuai dengan masalah.
  2. Evaluasi proses (process evaluation), suatu evaluasi yang memberikan gambaran tentang apa yang sedang berlangsung dalam suatu program dan memastikan adanya dan keterjangkauan elemen-elemen fisik dan struktural dari program. Evaluasi proses ini menilai apakah elemen-elemen spesifik seperti fasilitas, staf, tempat atau pelayanan sedang dikembangkan atau diberikan sesuai dengan rencana. Prosesnya mencakup pencatatan dan menggambarkan kegiatan-kegiatan program tertentu yaitu tentang apa, seberapa banyak, untuk siapa, kapan, di mana, dan oleh siapa. Evaluasi proses juga mencakup monitoring frekuensi partisipasi, target, sasaran dan digunakan untuk memastikan frekuensi luasnya implementasi program atau elemen-elemen program tertentu.
  3. Evaluasi akhir (summative evaluation), evaluasi yang dilakukan untuk melihat hasil keseluruhan dari suatu program yang telah selesai dilaksanakan. Evaluasi ini dilakukan pada akhir kegiatan program, guna menilai keberhasilan/efektifitas program. Hasil evaluasi dapat memberikan jawaban atas pertanyaan: apakah tujuan program tercapai atau tidak dan alasan-alasan mengapa demikian. Hal ini memungkinkan pengambilan keputusan, merencanakan dan mengalokasikan sumber daya (resources).
Fungsi evaluasi
Evaluasi dapat mempunyai dua fungsi yaitu; fungsi formatif, evaluasi dapat dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan (program, orang, produk, dan sebagainya). Fungsi sumatif, evaluasi dipakai untuk mempertanggungjawabkan, keterangan, seleksi atau lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat.

Indikator evaluasi
Definisi indikator menurut WHO (2002) merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya kemajuan, pada tahap tertentu yang merupakan usaha untuk mencapai suatu sasaran program, apakah indikator tersebut merupakan indikator input, proses, output atau outcome. Indikator hanya sekedar menunjukkan indikasi secara sederhana dari besarnya perubahan atau arah dari perubahan berdasarkan waktu. Indikator tidak menunjukkan kepada manajer program mengapa terjadi perubahan atau tidak terjadi perubahan.

Selanjutnya WHO (2002) menyatakan bahwa suatu indikator yang baik untuk melakukan monitoring dan evaluasi program yang membutuhkan kesesuaian terhadap program, memungkinkan untuk diukur dan dianalisis, mudah untuk diinterpretasi serta dapat diukur perubahannya berdasarkan waktu.

Referensi : WHO. 2002. Enviromental Health in Emergencies and Disasters dan Supriyanto, S. 1998. Evaluasi Bidang Kesehatan

Sunday, March 10, 2013

Manajemen Pelayanan Kesehatan

Pengertian, Komponen dan Jenis Pelayanan Kesehatan

Pengertian Manajemen, menurut Wijono (1997), secara umum, merupakan ilmu yang bersifat obyektif dan sistematis yang berdasarkan fakta-fakta atau kebenaran yang universal. Manajemen berhubungan dengan sesuatu hal (entisitas) yang bukan manusia dan entisitas manusia. Menurut Manullang (2004) yang dimaksud dengan manajemen adalah suatu proses dengan mana pelaksanaan suatu tujuan tertentu yang diselenggarakan dan diawasi dengan fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha individu untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan menurut Ratminto (2005), manajemen adalah suatu proses yang dilakukan oleh satu atau lebih individu untuk mengorganisasikan berbagai aktifitas lain untuk mencapai tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu dengan menggunakan kegiatan orang lain, untuk mencapai hasil-hasil yang tidak bisa dicapai apabila satu individu berpindah sendiri

Manajemen kesehatan mencakup fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan kesehatan, pengorganisasian, pengaturan staf, penggerakan pelaksanaan dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan, penganggaran kesehatan (buggetting), pengendalian pengawasan dan penilaian pembangunan kesehatan (Wijono, 1997).
  1. Manajemen adalah ilmu terapan yang dapat dimanfaatkan di dalam berbagai jenis organisasi untuk membantu manajer memecahkan masalah organisasi. Atas dasar pemikiran tersebut, manajemen juga dapat diterapkan di bidang kesehatan untuk membantu manajer organisasi kesehatan memecahkan masalah kesehatan masyarakat. Sistem kesehatan adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, atau mencapai suatu keadaan sehat bagi individu atau kelompok-kelompok masyarakat,
  2. Manajemen kesehatan masyarakat adalah penerapan manajemen umum dalam system pelayanan kesehatan masyarakat sehingga yang menjadi objek atau sasaran manajemen adalah sistem pelayanan kesehatan masyarakat,
  3. Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh, terpadu yang terdiri dari berbagai elemen (sub sistem) yang saling berhubungan di dalam suatu proses atau struktur dalam upaya menghasilkan sesuatu atau mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh sebab itu, kalau berbicara system pelayanan kesehatan adalah struktur atau gabungan dari sub system di dalam suatu unit atau di dalam suatu proses untuk mengupayakan pelayanan kesehatan masyarakat baik preventif, kuratif, promotif maupun rehabilitatif. Sehingga sitem pelayanan kesehatan ini dapat berbentuk puskesmas, rumah sakit, balai kesehatan masyarakat dan unit-unit atau organisasi-organisasi lain yang mengupayakan peningkatan kesehatan. Dengan demikian, maka manajemen kesehatan masyarakat adalah proses manajemen di tiap¬tiap sub system pelayanan (Wijono, 1997).
Pengertian Pelayanan kesehatan, merupakan suatu aktifitas atau serangkaian aktifitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara kosumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksud.

Jenis pelayanan kesehatan.
Menurut Muninjaya (2004) jenis pelayanan kesehatan adalah merupakan sub sistem pelayanan kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk pencegahan atau preventif dan peningkatan kesehatan atau promotif, pelayanan pengobatan atau kuratif dan pemulihan kesehatan atau rehabilitatif dengan sasaran masyarakat.

Menurut WHO (1999), terdapat beberapa jenis pelayanan kesehatan antara lain :
  1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan ini merupakan jenis pelayanan yang primary health care dimana pelayanan ini sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan (ambulatory/out patient services) dan posyandu merupakan bagian pelayanan kesehatan ini,
  2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua. Ruang lingkup pelayanan kesehatan masyarakat menyangkut kepentingan rakyat banyak, maka peranan pemerintah dalam pelayanan kesehatan mempunyai porsi yang besar, namun demikian karena keterbatasan sumberdaya pemerintahan, maka potensi masyarakat perlu digali atau diikutsertakan dalam upaya pelayanan kesehatan masyarakat tersebut .

Departemen Kesehatan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam menggali dan membina potensi masyarakat dalam upaya pelayanan kesehatan masyarakat ini. Menggalang potensi masyarakat di sini mencakup 3 dimensi, yakni:
  1. Potensi masyarakat dalam arti komunitas misalnya masyarakat rumah tangga, rukun warga dan kelurahan. Misal: iuran dana sehat untuk pengadaan pemberian makanan tambahan balita, kader kesehatan,
  2. Menggalang potensi masyarakat melalui organisasi-organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan-pelayanan kesehatan masyarakat pada hakikatnya merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam system pelayanan kesehatan masyarakat,
  3. Mengalang potensi masyarakat melalui pihak swasta yang ikut membantu meringankan beban penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat juga merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam sitem pelayanan masyarakat

System pelayanan kesehatan masyarakat dalam kegiatan pelaksanaan merupakan gabungan dari elemen-elemen (sub-sistem) suatu proses struktur, berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi. Antara satu sub sistem dengan sub sistem lain berterkaitan. Secara garis besar elemen-elemen dalam sistem itu adalah:
  1. Masukan input sub¬elemen yang diperlukan sebagai masukan untuk berfungsinya suatu system,
  2. Proses process adalah suatu kegiatan yang berfungsi untuk mengubah masukan sehingga menghasilkan suatu keluaran yang direncanakan,
  3. Keluaran output adalah sesuatu yang dihasilkan oleh proses (Robbins, 1994).

Pustaka : Muninjaya, A., A., G. 2004. Manajemen Kesehatan, EGC, Jakarta; Ratminto & Septi., A., W. .2005. Manajemen Pelayanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Wednesday, February 13, 2013

Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat

Teori dan Tahap Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan

Belajar dari berbagai pendekatan pembangunan terdahulu, sebagian pendapat menyatakan bahwa keengganan atau kealpaan pemerintah pusat untuk memberikan ruang partisipasi lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik ternyata telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri serta cara merealisasikannya melalui proses pembangunan. Konsep pemberdayaan (empowerment), sebagai konsep alternatif pembangunan pada intinya menekankan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, yang berlandas pada sumber daya pribadi, langsung (melalui partisipasi), demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung (Wrihatnolo  dan Dwidjowijoto, 2007) .

Dalam bidang kesehatan, pemberdayaan sudah menjadi isue penting sejak Ottawa Charter 1986, yang selanjutnya berkembang sebagai respon birokrasi terhadap kemajuan pergerakan sosial. Banyak promotor kesehatan yang fokus kepada pemberdayaan masyarakat, memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai suatu kondisi ketika masyarakat memiliki kontrol terhadap berbagai keputusan yang mempengaruhi kesehatan dan hidupnya. Secara spesifik, pemberdayaan masyarakat didefinisikan sebagai perubahan ke arah persamaan hak dalam kehidupan sosial terkait dengan sumber daya, otoritas, legitimasi atau pengaruh (Laverack and Labonte, 2000).

Beberapa definisi pemberdayaan masyarakat menurut beberapa ahli, antara lain sebagai berikut :
  1. Kartasasmita (1997)    : Upaya meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
  2. WHO : Proses individu memperoleh kontrol yang besar terhadap keputusan dan aksi yang mempengaruhi kesehatannya.Prijono dan Pranarka (1996)    : Aksi emansipasi dan liberalisasi manusia serta penataan terhadap segala kekuasaan dan penguasa.
  3. Blanchard (2002 ): Membangkitkan dan memusatkan daya masyarakat,    karena masyarakat pada dasarnya sudah memiliki daya melalui pengetahuan dan motivasi yang mereka miliki.
  4. Sutoro (2002) : Pembangunan yang dibuat secara demokratis, desentralistik dan partisipatoris, dengan masyarakat menempati posisi utama yang memulai, mengelola dan menikmati pembangunan.
  5. Sadan (2004) : Mengelola individu untukmemperoleh kontrol yang lebih baik terhadap kehidupannya, baik dengan kemampuan sendiri maupun dengan bantuan orang lain.
  6. Sunartiningsih (2004) :Upaya membantu masyarakat dalam mengembangkan kemampuan sendiri sehingga bebas dan mampu mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri.
  7. Kriger (2007) : Memobilisasi inisiatif masyarakat.
  8. Bartle (2007) : Peningkatan kekuatan dan pengembangan kapasitas untuk mencapai tujuan. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat segala sesuatunya mudah bagi masyarakat, tetapi mengajak masyarakat untuk berjuang dan melawan agar menjadi kuat
  9. Civic Forum London (2008)    : Membantu individu dalam masyarakat untuk mendapatkan kepercayaan diri, keterampilan dan kemampuan untuk mempengaruhi kondisi lingkungannya secara langsung atau melalui lembaga masyarakat
  10. Ife dan Tesoriero (2008) : Pemberdayaan betujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan (the disadvantaged)
Menurut Sunartiningsih (2004), tujuan pemberdayaan masyarakat adalah mendorong terciptanya kekuatan dan kemampuan lembaga masyarakat untuk secara mandiri mampu mengelola dirinya sendiri berdasarkan kebutuhan masyarakat itu sendiri, serta mampu mengatasi tantangan persoalan di masa yang akan datang. WHO menjelaskan, pemberdayaan masyarakat bertujuan memobil isasi individu dan kelompok yang lemah dengan memperkuat keterampilan hidup dasar dan meningkatkan pengaruhnya terhadap kondisi sosial dan ekonomi.

Kartasasmita (1997) menjelaskan, pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang dilakukan melalui tahapan-tahapan kegiatan yang bersifat siklus dan berakhir apabila masyarakat sudah mandiri. Tahapan atau fase pemberdayaan masyarakat menurut Adi (2003) terdiri dari 5 tahapan, yaitu persiapan, pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Sulistiyani (2004), menjelaskan tahapan pemberdayaan masyarakat meliputi 1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli; 2) tahap transformasi kemampuan, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan sehingga dapat berperan; 3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif menuju mandiri. Terdapat pendapat lain, yaitu peningkatan kesadaran kritis masyarakat, pengorganisasian masyarakat dan perencanaan partisipatif.
Pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi” bukan sebuah “proses instant”. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai 3 tahapan, yaitu : penyadaran, peningkatan kapasitas dan pemberian daya (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007).

Tahap Pertama
Pada tahap pertama, masyarakat diberi pengetahuan yang bersifat kognitif, belief, healing. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu (membangun “demand”) diberdayakan, dan proses pemberdayaan tersebut dimulai dari dalam diri mereka (bukan dari orang luar).

Tahap kedua
Tahap kedua adalah peningkatan kapasitas, sering disebut dengan istilah capacity building atau enabling. Ada 3 jenis capacity building, yaitu manusia, organisasi dan sistem nilai. Peningkatan kapasitas manusia dalam arti memampukan manusia, baik dalam konteks individu maupun kelompok, dapat dilakukan dengan pelatihan, lokakarya, seminar, sosialisasi, diseminasi informasi dan sejenisnya. Peni ngkatan kapasitas organisasi dilakukan dengan merestrukturisasi organisasi yang ada atau membentuk organisasi baru yang spesifik dengan kegiatan. Peningkatan kapasitas ketiga adalah sistem nilai atau “aturan main” yang dapat dilakukan dengan membantu masyarakat membuat “aturan main”atau kesepakatan diantara mereka send iri.

Tahap ke tiga
Tahap ketiga adalah pemberian daya itu sendiri atau empowerment. Pada tahap ini masyarakat diberi daya, kekuasaan, otoritas atau peluang. Masyarakat diberi kewenangan dalam mengidentifikasi masalah dan strategi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Masyarakat juga diberi ukuran-ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat pada tahap ketiga ini muncul dalam bentuk perencanaan partisipatif. Perencanaan partisipatif merupakan penentuan tujuan dan penyusunan kegiatan untuk mencapai tujuan yang dilakukan oleh masyarakat .

Teori Evaluasi Program Kesehatan

Aspek dalam Pelaksanaan Evaluasi Pengelolaan Program Kesehatan

Evaluasi atau kegiatan penilaian adalah merupakan bagian integral dari fungsi manajemen dan didasarkan pada sistem informasi manajemen. Evaluasi dilaksanakan karena adanya dorongan atau keinginan untuk mengukur pencapaian hasil kerja atau kegiatan penyelenggaraan program terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Menurut WHO (2003), Monitoring dan evaluasi memungkinkan pengelola program menilai keefektifan inisiatif pengendalian dan harus dilakukan secara terus menerus. Tujuan khusus evaluasi program adalah mengukur pencapain dan kemajuan program, mendeteksi dan memecahkan masalah, menilai keefektifan dan efesiensi program, mengarahkan alokasi sumber daya program dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk merivisi kebijakan.

Sebagai salah satu bentuk evaluasi program harus dilihat dari faktor-faktor input, proses dan output dimana ketiganya saling berkaitan. Dengan demikian faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program yaitu:
  • Input, meliputi sumber tenaga, biaya penyelenggaraan pelayanan, kebijakan dan pedoman pelaksanaan kegiatan serta bahan/alat untuk pengumpulan dan pengolahan data.
  • Proses, meliputi perencanaan program dalam tahun, bulan yang mencakup penentuan target/sasaran, anggaran dan penanggung jawab kegiatan, penggerakan pelaksanaan program dan pengawasan atau penilaian program.
  • Output, cakupan atau hasil-hasil dari suatu kegiatan program.
Pendekatan analisis sistem yang digunakan Donabedian, bahwa ketiga dimensi itu berhubungan secara linear dan positif. Input yang baik memungkinkan proses baik, proses yang baik memungkinkan output yang baik, dan output yang baik akan membawa dampak terhadap outcome yang baik. Dengan cara lain input yang baik menjadi dasar bagi kegiatan yang bermutu, proses yang baik menjadi dasar bagi output yang bermutu, dengan mutu output menjadi dasar bagi dampak yang diharapkan pada sasaran.

Program dapat dievaluasi dengan berbagai cara, di antaranya melakukan observasi terhadap program secara terus-menerus dalam upaya melakukan interprestasi terhadap informasi yang didapat dan sangat berguna bagi umpan balik program serta relevansi dan efisiensi program. Pada prinsipnya evaluasi program akan memberikan dampak yang lebih baik bagi kelangsungan program sesuai prinsip manajemen yaitu:

  1. Perencanaan: Perencanaan merupakan salah satu fungsi fundamental dari manajemen yang sangat menentukan, karena didalamnya termuat apa yang ingin dicapai oleh suatu organisasi serta langkah-langkah apa yang akan perlu dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ada empat tahap kegiatan perencanaan yaitu: menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan, merumuskan keadaan saat ini, mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan, mengembangkan rencana untuk mencapai tujuan.
  2. Pengorganisasian: Pengorganisasian merupakan suatu proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi dan tersedianya sumber daya seperti tenaga, keuangan, prasarana dan sarana dalam organisasi.
  3. Pelaksanaan: Manajemen adalah pelaksanaan atau penggerakan (actuating) yang dilakukan setelah organisasi memiliki perencanaan dan melakukan pengorganisasian dengan memiliki struktur organisasi termasuk tersedianya personil sebagai pelaksana sesuai dengan kebutuhan unit atau satuan kerja.
  4. Pengarahan dan bimbingan: Pengarahan dan bimbingan adalah kegiatan menciptakan, memelihara, menjaga atau mempertahankan dan memajukan organisasi melalui setiap personil, baik secara struktural maupun fungsional agar langkah-langkah operasionalnya tidak keluar dari usaha mencapai tujuan organisasi.
  5. Pembinaan atau supervisi: Pembinaan adalah suatu upaya pengarahan dengan memberikan petunjuk serta saran, setelah menemukan alasan dan keluhan pelaksanaan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pembinaan dan supervisi mempunyai tujuan untuk memotivasi petugas dan mengendalikan susuatu kegiatan agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Tuesday, February 12, 2013

Manajemen Kesehatan

Pengertian dan Aspek Manajemen Kesehatan

Manajement adalah suatu proses, yang terdiri dari kegiatan pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoorganisasian dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.

Menurut Hanafi (2003), manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisir, mengarahkan dan mengendalikan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan sumber daya organisasi. Kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian disebut sebagai proses manajemen. Sumber daya atau input diperoleh dari lingkungan dan dapat dikelompokkan menjadi input sumber daya manusia, fisik, keuangan dan informasi. Manajemen menginginkan tujuan tercapai dengan efektif dan efisien. Efisien adalah kemampuan menggunakan sumberdaya dengan benar sedangkan efektif akan lebih jelas kalau dikaitkan dengan konsep perbandingan output-input. Output merupakan hasil atau keluaran suatu organisasi dan input merupakan sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan output. Efektivitas banyak berkaitan dengan pencapaian tujuan, semakin dekat organisasi ke tujuannya semakin efektif organisasi tersebut.

Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Manajemen merupakan alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Manajemen yang baik akan memudahakan terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Unsur-unsur manajemen terdiri dari: man, money, method, machines, materials dan market. Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Fungsi-fungsi manajemen yaitu Planning, Organizing, Actuating dan Controlling. Pengertian fungsi-fungsi yang dilaksanakan dalam proses manajemen sebagai berikut:

Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah pemilihan sekumpulan kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang harus dilakukan, kapan, bagaimana dan oleh siapa. Perencanaan adalah proses dasar dimana manajemen memutuskan tujuan dan cara mencapainya. Perencanaan dalam organisasi adalah esensial, dalam kenyataannya perencanaan memegang peranan lebih dibanding fungsi-fungsi manajemen lainnya. Fungsi-fungsi pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan sebenarnya hanya melaksanakan keputusan-keputusan perencanaan. Perencanaan yang baik dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi di waktu yang akan datang dalam perencanaan dan kegiatan yang diputuskan akan dilaksanakan, serta periode sekarang pada saat rencana dibuat.

Perencanaan adalah suatu proses yang tidak berakhir bila rencana tersebut telah ditetapkan, rencana harus diimplementasikan. Setiap saat selama poses implementasi dan pengawasan, rencana-rencana mungkin memerlukan modifikasi agar tetap berguna. Perencaan kembali dapat menjadi faktor kunci pencapaian sukses akhir. Perencanaan harus mempertimbangkan kebutuhan fleksibilitas, agar mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi baru secepat mungkin.

Salah satu aspek penting perencanaan adalah pembuatan keputusan (decision making), proses pengembangan dan penyeleksian sekumpulan kegiatan untuk memecahkan suatu masalah tertentu. Keputusan-keputusan harus dibuat pada berbagai tahap dalam proses perencanaan.

Pengorganisasian (Organizing)
menjelaskan pengorganisasian merupakan suatu proses untuk merancang struktur formal, mengelompokkan dan mengatur serta membagi tugas-tugas atau pekerjaan di antara para anggota organisasi, agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan efisien. Pengorganisasian merupakan proses penyusunan struktur organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, sumber daya-sumber daya yang dimilikinya, dan lingkungan yang melingkupinya.

Pengertian pengorganisasian dapat digunakan untuk menunjukkan hal-hal berikut:
  1. Cara manajemen merancang struktur formal untuk penggunaan yang paling efektif sumber daya-sumber daya keuangan, fisik, bahan baku dan tenaga kerja organisasi.
  2. Bagaimana organisasi mengelompokkan kegiatan-kegiatannya, dimana setiap pengelompokkan diikuti dengan penugasan seorang manajer yang diberi wewenang untuk mengawasi anggota-anggota kelompok.
  3. Hubungan-hubungan antara fungsi-fungsi, jabatan-jabatan, tugas¬tugas dan para karyawan.
  4. Cara para manajer membagi lebih lanjut tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam departemen mereka dan mendelegasikan wewenang yang diperlukan untuk mengerjakan tugas tersebut.
Pengarahan (Actuating), Bagian yang termasuk dalam manajemen pengarahan.

Secara klasik manajemen adalah ilmu atau seni tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara efesien, efektif dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Manajemen mengandung tiga prinsip pokok yang menjadi ciri utama penerapannya yaitu efesiensi dalam pemanfaatan sumber daya, efektif dalam memilih alternatif kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dan rasional dalam pengambilan keputusan manajerial (Muninjaya, 2004).

Menurut Thoha (1999) sarana merupakan salah satu unsur masukan, disamping tenaga dan dana. Bila sarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan maka sulitlah pelayanan mencapai mutu yang diharapkan. Dedikasi, kemampuan kerja, ketrampilan dan niat yang besar untuk mewujudkan prestasi besar tidak akan besar manfaatnya tanpa didukung oleh sarana dan pra sarana yang dibutuhkan. Agar supaya roda organisasi berjalan lancar maka persyaratan minimal ketersediaan sarana dan prasarana tetap harus dipenuhi.

Sedangkan menurut Azwar (1996), manajemen kesehatan fungsi administrasi dibagi dalam empat macam yaitu fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan fungsi penilaian. Manajemen yang efektif menuntut agar semua orang bertanggung jawab terhadap pekerjaan orang lain, pada semua tingkat dan dalam setiap jenis unit organisasi yang memandang dirinya sebagai menejer. Manajemen yang terorganisir menggunakan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan menerapkannya dengan mempertimbangkan realitas yang ada untuk mencapai hasil praktis yang diinginkan (Azwar, 1996).